D. Keteladanan Sang Nabi.
Keteladanan (Uswah Hasanah) adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh manusia untuk memprofil dirinya dalam rangka membentuk karakter dan kepribadiannya. Karena pada umumnya manusia belajar pertama kali adalah dari melihat, kemudian meniru dan baru kemudian memodifikasi atau berkreasi.
Para rasul adalah sang teladan agung bagi umatnya, termasuk di dalamnya adalah Rasulullah Muhammad Saw. Bagi manusia di era kerasulan beliau, khususnya kaum yang beriman. Beliau adalah 'bayangan Allah' yang paling jelas. Bayangan dalam arti akhlak, moral dan kepribadian beliau paling mirip dengan akhlak dan karakter Allah, SWT. Sedangkan semua manusia dititahkan oleh Allah, sebagai Khalifah-Nya (QS Al Amin 30), maka selayaknya semua manusia memiliki akhlak mulia sebagai mana akhlak profil yang diwakilinya, seperti pernyataan beliau "takhallaquu bi khuluqillaah" (saling berakhlak kalian dengan akhlaknya Allah). Untuk melaksanakan perintah tersebut Allah telah memberikan contoh, yakni para utusan-Nya. Sebagai mana firman Allah SWT.
.(لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا)
[Surat Al-Ahzab 21]
Artinya:
"Sungguh ada untuk kalian pada diri utusan Allah teladan yang baik".
Nabi Muhammad Saw adalah teladan agung dan abadi dalam hal akhlak. Sekaligus budi dan pekertinya merupakan solusi atas segala persoalan hidup manusia dan kemanusiaan. Oleh karenanya, Nabi Muhammad adalah teladan umum bagi manusia sebagai khalifatullah di muka bumi ini. Baik dalam kehidupan pribadi sebagai seorang hamba, kepala keluarga, maupun pimpinan masyarakat.
1. Teladan dalam kehidupan pribadi seorang hamba.
Semenjak usia dini atau sangat muda, beliau sudah sangat relegius, dengan moralitas yang sangat tinggi. Kebiasaan tafakur dan tadzakkur di kala dini hari sudah menjadi pola hidupnya. Sehingga ketika ada sayembara 'masuk Masjidil Haram paling awal' untuk mendapatkan kehormatan meletakkan batu Hajar Aswad pada tempatnya, pasca renovasi, maka beliaulah pemenangnya. Beliau yang semenjak kecil sudah terkenal dengan julukan Al Amin (orang yang sangat terpercaya), menjadi pemenang sayembara tersebut karena tafakur di dekat Ka'bah, di hijir Ismail di waktu dini hari adalah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan beliau.
Sebagai seorang individu dan hamba Allah, beliau sangat 'aabid' (ahli ibadah) lagi zaahid (sangat tidak meterialis), semenjak kecil, muda dan dewasanya, apalagi ketika beliau sudah diangkat menjadi utusan Allah.
Mulai kecil sudah terbiasa tafakur dan tadzakkur di pelataran Ka'bah. Sekitar usia 30 an tahun beliau sudah terbiasa melakukan tahannuts (bertapa) di gua Hira' di Jabal nur, sampai saat beliau berusia 40 tahun beliau tercerahkan sehingga bisa berkomunikasi dengan Jibril sang malaikat pembawa ilmu pengetahuan. Kegemaran beribadah kepada Allah SWT, tidak pernah surut karena kekayaan dan kejayaan beliau, beliau wajibkan dirinya untuk sholat tahajud di samping sholat-sholat yang lainnya. Menjelang akhir kehidupannya, beliau sangat lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, sampai kakinya bengkak kalau lagi enjoy bermunajat kepada Allah. Kecenderungan melawan syahwat duniawi sudah menjadi bagian dari dirinya. Akrab dengan puasa dan kelaparan, bahkan konon tidak pernah kenyang, karena prinsip hidup beliau adalah tidak makan sebelum lapar dan berhenti makan sebelum kenyang. Dalam hidupnya, lebih banyak digunakan untuk berpuasa dari pada tidak berpuasanya. Karena setiap tidak beliau temukan makanan di waktu pagi, maka sekalian beliau berniat puasa. Nabi Muhammad, juga bukan penggemar tidur, bahkan secara pikiran dan rohani, beliau tidak pernah tidur dengan nyaman di tempat yang nyaman. Beliau tidur hanya beralaskan tikar dari daun dan pelepah kurma. Alangkah takutnya beliau kepada Allah, ketika melaksanakan haji wadak, memberikan laporan pertanggungjawaban kepada Allah SWT dengan saksi sekitar 10 ribu orang. Bahwa beliau telah melaksanakan tugas mengajar dan mendidik anak-anak umat Islam.
Beliau hidup sebagai seorang yang miskin atau sangat sederhana. Seluruh harta yang dimiliki dan menjadi kekuasaan nya, jabatan dan seluruh jiwa raganya diberdayakan untuk membuat Allah ridho kepadanya. Sampai beliau wafat tidak meninggalkan harta benda sebagai seorang kepala negara dan agama sekaligus. Sekalipun hanya untuk anak perempuan dan kedua cucunya yang tercinta.
2. Keteladanan Nabi Sebagai Kepala Keluarga.
Nabi Muhammad sebagai kepala keluarga meliputi lima sub jabatan; suami, ayah, mertua, menantu dan kakek. Ke lima sub jabatan kepemimpinan dalam keluarga tersebut, beliau adalah sebagai teladan bagi kita semua.
Sebagai seorang suami yang bertanggung jawab kepada Allah SWT dan kepada masyarakat, khususnya adalah orang tua istri (mertua), sang nabi adalah sosok yang sangat amanah. Beliau bekerja keras sebagai pedagang, sekalipun istrinya sudah kaya. Kunjungan ke berbagai kota dan negara dilakukannya untuk pemasaran dan pengembangan usaha dagangnya. Mulai kota - kota di sekitar Makkah bahkan di ibukota negeri tetangga, arah Utara Makkah sampai Syam (Syiria), arah ke selatan sampai ke Yaman, dalam tradisi "rihlatassyitaai was shoif" suku Quraisy.
Di samping tetap juga menjaga keharmonisan hubungan rumah tangga, dengan istri dan anggota keluarga yang lainnya.
Dengan sangat adil dan bijaksana beliau berkomunikasi dengan istrinya, khususnya istri perdananya (Siti Khadijah). Beliau tidak membagi cinta, apalagi berpoligami ketika istri tercinta ini masih ada. Dididiknya para istri, khususnya istri pertamanya. Beliau adalah orang yang pertama kali menerima dakwah sang Nabi, dan beriman kepadanya. Bahkan menjadi pendukung dakwah yang pertama dan paling utama. Dia korbankan seluruh hartanya sampai real dan dinarnya yang terakhir. untuk perjuangan dan dakwah Rasulullah Saw sang suami tercinta.
Sebagai seorang ayah dengan 7 orang anak, beliau sangat faham dan bijaksana dalam mengasuh dan mendidik putra-putrinya. Beliau adalah sang ayah teladan. Sekalipun dari ke 7 putra-putrinya, hanya satu orang yang sempurna menurunkan generasi suci penyambung darah perjuangan para nabi, yakni Sayyidah Fathimah Az-Zahra'. Rasulullah mengasuh dan mendidik putra-putrinya dengan cinta dan kasih sayang illahi, bukan kasih sayang materi. Atas bimbingan Wahyu sang dan seluruh keluarga, istri, anak dan dzurriyah beliau adalah para zahid, khususnya, Siti Fathimah, Ali bin Abi Thalib (menantu), Husain (cucu), dan Ali Zainal Abidin (cicit), adalah para Zahid (orang yang tidak terpengaruh oleh materialisme) yang agung. Karena contoh dan pendidikan sang ayah dan kakek yang mulia.
Demikian juga Sang Nabi adalah mertua teladan sepanjang zaman. Bagaimana beliau menghormati dan memuliakan sang mantu (Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib). Ketika kedua sang menantu ke kediaman beliau, disambutnya dengan segala hormat, bahkan dibeberkan untuknya serban kesayangannya untuk duduknya sang menantu. Juga selalu dinasehati putrinya untuk menjadi istri yang shalihah (taat, dan menyenangkan terhadap suaminya).
Comments[ 0 ]
Posting Komentar