Ragam Pemikiran
Dalam Teologi Islam
Oleh; Kharisudi Aqib
A. Muqaddimah
Teologi Islam
biasa disebut dengan ilmu kalam (ilmu
perdebatan kata-kata) atau ilmu tauhid (ilmu
tentang keesaan Tuhan). Disebut dengan ilmu kalam, kerena ilmu ini lebih
mengandalkan pada dasarnya pijakan (argumentasi) yang bersifat dialektika
verbal dalam mempertahankan keyakinan akan adanya Tuhan. Sedangkan penyebutan
dengan mempergunakan istilah ilmu tauhid karena
ilmu ini memiliki obyek kajian tentang kehamaesaan Allah.
Ilmu tauhid
adalah sebuah disiplin inti keislaman dan bahkan termasuk dasar utama agama (ushuluddin). Ilmu ini merupakan bagian
disiplin keilmuan yang muncul dari dimensi ‘aqidah
(keyakinan) dalam Islam yang disebut dengan al-Iman. Yang batasannya menurut Nabi adalah;
1.
Yakin
terhadap Allah,
2.
Yakin
terhadap malaikat-malaikat-Nya,
3.
Yakin
terhadap kitab-kitab suci-Nya,
4.
Yakin
terhadap Nabi dan Rasul-Nya,
5.
Yakin
terhadap hari akhir,
6.
Yakin
terhadap ketetapan Allah (baik yang baik maupun yang buruk).
Ataupun
yang biasa dikenal dengan istilah rukun Iman. Untuk kepentingan memahami enam
rukun iman tersebut, maka munculnya ilmu yang spesifik yang disebut dengan imu
tauhid atau ilmu kalam.
Realitas
keislaman umat yang dapat disaksikan sekarang ini menampakkan beragamanya
keyakinan yang masing-masing memiliki dasar pijakan yang bersifat teologis.
Kenyataan seperti yang dapat disaksikan ini tentu tidak begitu saja muncul dan
bukan realitas yang menempel dari luar. Akan tetapi muncul dari dasar ajaran
Islam sendiri. Walaupun juga tidak dapat dipungkiri bahwa lainnya perbedaan dan
perdebatan teologis umat Islam juga dipicu dan disuburkan karena pengaruh dari
interaksi umat Islam dengan pemeluk agama dan peradaban lain.
Dimensi
teologi adalah ranah diskursus dalam Islam yang paling ramai dan seringkali
menimbulkan perpecahan umat yang cukup serius. Umat Islam memahami, bahwa
kajian tauhid merupakan pokok kajian yang sangat prinsip. Keyakinan (‘aqidah) merupakan ikatan keagamaan
seseorang. Seseorang dianggap beragama atau keluar dari agama berdasarkan benar
dan tidaknya ‘aqidah seseorang.
Sementara setiap muslim pasti tidak akan rela bila dikatakan bahwa dirinya
telah keluar dari ‘aqidah Islam yang benar. Bahwa sebagian besar firqoh (aliran dalam teologi/ilmu
tauhid) bersifat ekslklif. Ia hanya mengakui kebenaran dirinya, dan
menyalahnya yang lain. Karena cara berfikir dialektis (hitam-putih) ini, maka
akhirnya menimbulkan konklusi yang bersifat sectarian.
Obyek
perdebatan para mutakallimun (ulama’
ahli ilmu kalam), sebenarnya meliputi hamper keseluruhan tema dalam rukun iman.
Akan tetapi yang cukup krusial sehingga menimbulkan polemik takfir (saling mengkafirkan), hanyalah
dalam hal-hal yang menyangkut eksistensi Allah. Sifat-sifat Allah, taqdir
Allah, kemaha-adilan Allah. Sedangkan tema utama yang muncul pertama kali dan
menimbulkan kelompok-kelompok pemikiran dalam wilayah kajian teologi Islam yang
disebut dengan firqoh. Di antara
faham teologis firqah ini adalah semua sahabat Nabi adalah adil (dapat
dipercaya), tidak membedakan antara Ali dengan sahabat Nabi yang lain. Bahwa
pendosa besar (orang yang membunuh orang Islam) tidak kafir.
Firqah
yang selanjutnya muncul adalah Khawarij.
Ia muncul sebagai antitesa terhadap polemic yang berkepanjangan antara kelompok
Ali ibn Abi Tholib dengan kelompok Mu’awiyah ibn Abi Shufyan. Anggota firqah
khawarij adalah keluarga tentara setia pengikut Ali ibn Abu Thalib. Mereka
kebanyakan adalah kaum Muslim pedalaman (badui)
yang memiliki militansi dan keimanan yang kuat. Karena frustasi atas carut
marutnya suasana politik Islam, dan sikap politik Ali ibn Abi Tholib yang
dinilai kurang tegas dan Mu’awiyah yang dinilai licik, maka selanjutnya mereka
mengambil sikap non blok yang ekstrim. Mereka memusui keduanya.
Di
antara kaum Khawarij adalah, Nafi’ ibn al-Azraq (sehingga sektenya disebut
Azariqah), Najdah ibn ‘Ami al-Hanafi (sehingga sektenya disebut al-Najdat). Dan
Zaid ibn al-Asfar (sektenya disebut al-Sufriyah). Firqah ini memiliki banyak
sekte, yang secara teo-politis masih berkembang hingga sekarang. Mereka itulah
kaum foundamentalis Islam yang ditakuti oleh musuh-musuh Islam hingga sekarang.
Selain
tiga firqah tersebut, ada firqah yang muncul murni dalam kaitan teologi dan
tidak masuk dalam tema-tema teo-politis. Firqah tersebut adalah Jabariyah dan Qadariyah. Firqah yang pertama berkeyakinan akan keterpaksaan
manusia (bahwa menusia tidak dapat menentukan taqdir dan nasibnya sendiri),
sedangkan firqah yang kedua berkeyakinan, bahwa menusia bebas-merdeka
menentukan taqdir dan nasibnya sendiri.
Dasar
keyakinan teologi masing-masing firqah (jabariyah dan qadariyah) adalah sangat
kuat. Yaitu ayat-ayat suci al-Qur’an. Misalnya;
والله خلقكم و ما تعملون.
وما اصا ب من مصيبة في الا رضولافي انفسكم
الا في كتا ب من قبل اننبراها ز.
وماىميت اذرميت ولكن الله رمى.
Di
antara tokoh kaum Jabariyah adalah jaad ibn Dirham. Ia adalah orang yang
pertamakali muncul faham jabariya di dalam teologi. Di antara pahamnya adalah
ia berpendapat bahwa Allah tidak layak disifati dengan sifat-sifat kemanusiaan,
baik tokoh utama aliran jabariyah, tentang taqdir ia berpendapat; bahwa manusia
tidak kuasa untuk bergerak. Gerak dan diamnya manusia adalah perbuatan Allah.
Sedangkan
di antara tokoh kaum qadariyah adalah Ma’bad al-Juhaini. Dialah tokoh pertama
yang mengembangkan faham qadariyah. Ia berpendapat bahwa manusia bebas
menentukan perbuatannya. Termasuk perbuatannya yang salah. Dan Ghylan
al-Dimasqy. Ia berpendapat bahwa menusia berkehendak sendiri dalam menentukan
meninggalkan kejahatan atau melakukannya atas pilihannya sendiri.
Firqah
yang lebih dekat pandangannya dengan kaum qadariyah adalah Mu’tazilah. Sedangkan yang lebih dekat dengan Jabariyah adalah
Firqah Ahli Sunnah Wal Jama’ah. Yang
di antara tokoh pendirinya Abu Hasan al-Asy’ari, seorang mantan tokoh firqah
mu’tazilah.
Di
antara dua firqah ektrim tersebut ada firqah-firqah yang moderat, seperti ahlu sunnah wal jama’ah (Asy’ariyah dan
Maturidyah) dan Syi’ah Zaidiyah.
Dalam
tema yang lain, kaum mu’tazilah yang semula tidak turut dalam perdebatan
teologis di belakang hari juga tampil dalam suatu perdebatan tentang hakekat
al-Qur’an. Apakah ia sesuatu yang baru (hadist)
atau sesuatu yang lama (qodim) sebagai
sifat Tuhan yang inhern dengan Tuhan. Kelompok mu’tazilah yang kebanyakan
berfaham qadariyah (rasional), ketika sedang berkuasa ia justru bertindak
emosional dan ekstrim (mihnah) untuk
para ulama’. Mereka semua dipaksa untuk mengikuti faham mu’tazilah yang
berkeyakinan bahwa al-Qur’an sebagai kalamullah
(firman Allah) adalah qadim sebagai
mana Allah.
B. Firqah-firqah dalam Teologi Islam
Firqah yang
mula-mula muncul adalah firqah Syi’ah. Firqah
ini merupakan kelompok kaum muslimin yang tasyayyu’
(memiliki kecondongan) terhadap Ali ibn Abi Tholib, baik secara teologis
maupun politis. Mereka berkeyakinan bahwa yang berhak atas kekhalifahan setelah
Nabi Muhammad adalah Ali. Sedangkan para sahabat yang lain sebuah konsipirasi
politik yang batal.
Kekhalifahan
adalah hak Ali berdasarkan petunjuk dan wasiat Nabi atas kaum muslimin. Di
samping itu pengangkatan Abu Bakar juga dinilai batal karena dilakukan dalam
suasana yang tidak kondosif serta tidak menyertakan keluarga Nabi (ahlul bait). Karena pada saat itu
keluarga Nabi masih sedang mengurus jenazah Nabi. Sementaara pengangkatan Abu
Bakar tidak cukup untuk dianggap telah kourum. Karena pemerintahan tidak sah,
maka seluruh transaksi yang terjadi di seluruh negeri juga tidak sah.
Secara embrional
firqah ini telah ada semenjak diangkatnya Abu Bakar as-Shiddiq sebagai Khalifar
pertama. Akan tetapi firqah ini telah mencapai bentuknya yang sempurna ketika
Mu’awiyah ibn Abi Shufyan (sebagai Gubernur Mesir) secara terang-terangan
menentang Kekahlifahan Ali dan bahkan melakukan perlawanan secara militer yang
berakibat terjadinya peperangan besar di antara sesame muslim.
Sedangkan firqah
lawannya adalah Ahlussunnah (sunni).
Kelompok ini adalah mayoritas kaum muslimin yang mengakui keabsahan Abu Bakar
dan seterusnya. Karena pengangkatan khalifah tersebut telah didasarkan pada
permusywaratan para sahabat Nabi yang tidak mungkin berkhianat. Firqah ini
secara politis akhirnya mengerucut dalam sebuah kepemimpinan yang dipelapori
oleh perseteruan yang berkepanjangan sehingga menimbulkan pertikaian yang tak
kunjung berhenti, bahkan hingga sekarang.
Secara embrional
dan faktual, firqah ini muncul dalam kasus politik. Tetapi sikap tersebut
muncul karena keyakinan teologis yang moderat dan kompromistis. Mereka
kebanyakan berfaham murji’ah (menangguhkan keadilan di hadapan Allah kelak),
dan jabariyah (pasrah terhadap realitas), karena keyakinan bahwa itulah
kehendak Allah. Itu adalah masalah eksistensi iman dalam diri seorang muslim
pendosa (fasiq), masalah keadilan
tuhan dan sifat-sifat-Nya, masalah taqdir
(ketetapan Allah pada makhluk-Nya), dan masalah hakekat al-qur’an (apakah
ia qodim atau hadist). Tema-tema tersebut selanjutnya menimbulkan banyak firqoh,
yang antara satu dengan lainnya saling membanggakan diri dan merendahkan yang
lainnya. Bahkan saling mengkafirkan. Sehingga menimbulkan perpecahan di
kalangan umat islam dengan cukup parah.
C. Sejarah Munculnya banyak Firqah
Ekspresi pemahaman beragama yang beragam di
dalam agama Islam sebenarnya telah ada semenjak Nabi masih hidup. Sebagian
besar sahabat Nabi beragama dengan pemahaman tekstual, mereka mendengar dari
Nabi dan melaksanakannya tanpa interprestasi. Tetapi sebagian lain menerima
ajaran Nabi dengan intreprestasi. Demikian ragam pemahaman keagamaan umat terus
berkembang seiring dengan perkembangan ragam suku, etnis, dan bangsa yang
memeluk Agama Islam. Dan bahkan peradaban umat Islam dari zaman ke zaman.
Secara historis
kemunculan firqah-firqah dalam teologi Islam muncul kepermukaan bukan karena
persoalan-persoalan teologis, melainkan persoalan politik. Konflik politik yang
terjadi di penghujung akhir pemerintahan Khalifah Usman ibn Affan berakhir
dengan terbunuhnya sang Khalifah di tengah para demotran. Kasus pembunuhan
terhadap kaum muslim tersebut, selanjutnya menimbulkan perselisihan pendapat di
kalangan kaum muslimin. Yang pada perkembangan berikutnya menimbulkan kelompok Alawiyin (pendukung Ali ibn Abi Thalib)
dan Amawiyin (pendukung Mu’awiyah
ibn Abi Shufyan). Inilah embrio kelompok syi’i-sunni, yang merupakan dualism
kelompok teo-politik islam yang
berbenturab sampai dengan sekarang.
Di antara dua
firqah yang memperdebatkan antara status keimanan seorang pembunuhan (pendosa
besar) apakah ia tetap beriman atau kafir (lepas imannya). Sebagian besar
kelompok berpendapat bahwa pendosa besar masih tetap Islam, tetapi masuk
kategori fasiq. Di antara perbedaan pendapat itu, muncullah kelompok ekstrim “Khawarij”, yang memiliki faham bahwa
seorang pendosa besar telah menjadi kafir dan harus diperangi (dibunuh). Ali,
Mu’awiyah dan orang-orang yang menjadi penyebab perpecahan umat Islam adalah
pendosa besar, maka mereka semua harus dibunuh, itulah pendapat kaum khawarij.
Juga kelompok mengambang “mu’jiah” ,
yang menunggu jawaban di akhirat, serta kelompok apatis “mu’tazilah” yang tidak mau turut dalam perdebatan teo-politis tersebut.
Dalam tema
teologi murni, selanjutnya juga muncul perdebatan tentang taqdir (ketetapan tuhan pada manusia). Apakah ia dapat dirubah oleh
manusia apa tidak. Atau apakah manusia memiliki daya untuk menentukan
taqdirnya, atau semata-mata menerima taqdir dari Allah secara pasif. Dari
diskusi ini muncullah dua kelompok ekstrim yang kontras. Jabariyah berkeyakinan, bahwa manusia tidak memiliki daya sama
sekali untuk menentukan taqdirnya, ia bagai wayang di tangan sang dalang.
Sementara Qadariyah berkeyakinan,
bahwa manusia kuasa penuh untuk menentukan taqdirnya sendiri. Ia bebas memilih jalan
hidupnya, dan Tuhan tidak terlibat dalam prilaku manusia se-hari-hari. Tuhan
hanyalah pembuat hukum alam (sunnatullah).
Comments[ 0 ]
Posting Komentar