Ragam
Pemahaman Dalam Hadis Nabi
Oleh; Kharisudin Aqib
A.
Muhaddimah
Periwayatan
tentang hal-ihwal Nabi Muhammad saw yang meliputi perkataan, perbuatan,
ketetapan, sifat beliau, adalah sesuatu urgen
(penting) dalam kajian keislaman. Mengingat bahwa praktek kehidupan Nabi
merupakan informasi yang dibawa dan disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. Dengan
demikian, maka kepercayaan kepada Nabi dan berita tentang Nabi merupakan
pondasi kepercayaan kepada seluruh ajaran Islam termasuk di dalamnya tentang
kebenaran kitab Suci al-Qur’an.
Pada masa Nabi
Muhammad saw masih hidup, tidak ada sumber hokum lain kecuali al-Qur’an (firman
Allah) dan Sunnah Nabi. Firman Allah yang bersifar global dan sunnah Nabi yang
bersifat rinci. Dan secara umum posisi al-Sunnah di hadapan al-Qur’an ada tiga
bentuk; yakni pertama, sunnah keseteraan yang bersifat menguatkan apa yang
terkandung di dalam al-Qur’an, seperti hadis-hadis perintah sholat, zakat, dan
keharaman riba dll. Ke dua sunnah sebagai penjelas dan penafsiran ayat-ayat
al-Qur’an yang bersifat global, maka al-sunnah menjelaskan apa yang dimaksud
oleh ayat, seperti penjelasan tatacara sholat, jumlah raka’atnya, waktunya,
penjelasan syarat cabang –cabang ahli waris dll. Dan ketiga sunnah yang
menjelaskan sesuatu yang tidak ada sama sekali di dalam al-Qur’an. Seperti
pengharam setiap binatang buas yang bertaring, bolehnya khiyar syarat, tidak
ada qisas bagi seorang muslim untuk orang kafir dll.
Walaupun urgensi
periwayatan tentang Nabi (al-hadis) merupakan
sesuatu yang sangat penting dalam tegaknya keyakinan beragama (Islam), tetapi
kekokohan eksistensi al-hadis tidak
sekokoh dengan eksistensi al-Qur’an. Hal ini dikarenakan perhatian Nabi
terhadap al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam yang paling utama. Sehingga Nabi
memerintahkan kepada para sahabat (khususnya para penulis wahyu) untuk menulis
ayat-ayat al-Qur’an dengan segera dan dengan penuh kecermatan, sementara Nabi
juga melarang sahabat menulis tentang Nabi (atau informasi dari Nabi) selain
al-Qur’an. Hal ini berlangsung proses penulisan al-Qur’an hampir selasai.
Informasi tentang Nabi dan sesuatu yang
berasal dari Nabi selain al-Qur’an (al-hadis)
dilarang oleh Nabi untuk ditulis , khususnya di tengah-tengah kesibukan para
sahabat untuk menulis, mempelajari dan menghafalkan al-Qur’an. Sehingga praktis
dokumentasi verbal tentang al-hadis tidak berjalan sebagaimana dokumentasi
tentang al-Qur’an yang berjalan dan diriwayatkan secara massal (mutawattir). Dan yang terjadi dalam
periwayatan al-hadis adalah periwayatan oral atau dari mulut ke mulut (syafawiyyan). Sehingga dari segi
banyaknya periwayatan ada dikenal istilah hadis
mutawatir (massal) dan hadis ahad (perorangan).
Kajian ini ada
dalam sub bagian ulum al-hadis (ilmu-ilmu
hadis) yang membahas tentang ragam penafsiran dan pemahaman atas hadis nabi dan
system transmisi hadis (al-tahmmul wal
ada’) sehinnga hadis nabi dapat disampaikan kepada kita.
B. Sejarah
Kodifikasi Hadis
Sejak periode
awal, kaum muslimin memiliki perhatian besar terhadap dokumentasi tentang
sabda-sabda Nabi yang sangat berbobot, baik penulisan, penghafalan, transfer
dan penyebaran. Secara perorangan penulisan dan pengumpulan hadis Nabi telah
terjadi sejak masa Nabi, dan bahkan naskah yang ditulis oleh sahabat Abdullah
ibn Umar dan Jabir, adalah naskah yang diakui sebagai data paling masyhur dan
otentik tentang penulisan hadis pada masa Nabi. Walaupun persoalan penulisan
hadis pada masa nabi menjadi polemic, tetapi kebanyakan para ulama’ dapat
menyimpulkan, bahwa larangan penulisan hadis itu hanya terjadi di awal-awal
masa kerasulan (penulisan wahyu). Sedangkan di akhir masa kerasulan, penulisan
hadis ini tidak dilarang lagi.
Namun demikian,
penulisan hadis yang ada sampai kurun akhir abad I hijriyah adalah penulisan
secara perorangan. Baru setelah dilakukan pengkodifikasian (pembukuan hadis)
secara resmi atas perintah Khalifah Umar ibn Abdul Aziz maka kitab-kitab hadis
mengalami penyebaran yang lebih sistimatis. Kebijakasanaan ini adalah upaya
yang sungguh-sungguh dalam ranagka menjaga kemurnian hadis nabi dan terjadinya
penyebaran hadis yang lebih proposional. Sehingga banyak muallif (penyusunan kitab)
hadis mulai bermunculan dengan sisitimatika penulisan dan standarisasi
keabsahan hadis masing-masing, silsilah geneologikal keilmuan yang beragam. Dan
bahkan mulai bermunculan ilmu-ilmu tentang hadis. Seperti musthalahul hadis, jarh watta’dil, dll.
Hadis nabi
sebagai sumber ajaran dan hokum Islam pernah mengalami masa yang carut-marut.
Yaitu suatu masa yang penuh dengan intrik politik, sehingga banyak pihak yang
memanipulir hadis nabi sebagai untuk kepentingan kelompok politik dan
golongannya masing-masing. Maka akhirnya banyaklah tersebar “hadis-hadis nabi”
yang kurang jelas kebenarannya, dan bahkan hadis-hadis palsu. Mereka melakukan
pemalsuan hadis dalam rangaka mencari justifikasi dalam rangka membenarkan
kelompoknya (firqah, mazdhab, thoriqah ataupun
kelompok politik/ hizb). Untuk
kepentingan menjaga kemurnian hadis tersebut, maka pemerintah Daulah Bani
Umayyah (Umar ibn Abdul Aziz Khalifah al-Rosyid ke lima) memerintahkan untuk
mengadakan kodifikasi hadis secara resmi. Bahkan hal ini sebenarnya telah
dilakukan oleh ayah Khalifah Umar, yaitu Abdul Aziz ibn Marwan, Gubernur Mesir
(w.85 H).
C. Otoritas Hadis
Sumber Hokum
Otoritas hadis
nabi sebagai sumber hokum Islam adalah keyakinan fundamental dan dipegangi oleh
umat Islam pada umumnya. Dan hanya sebagaian kecil dari umat yang menyatakan
beragama Islam, tetapi tidak mengikuti al-hadis sebagai sumber hokum dan ajaran
Islam yang dikenal dengan sebutan (inkarussunnah).
Karena pada dasarnya ketaatan pada Rasulullah yang direpresentasikan pada
pengakuan atas otoritas al-hadis, juga merupakan manifestasi pada ketaatan
kepada Allah. Sebagaimana dinyatakan dalam beberapa ayat suci al-Qu’an.
Adapun yang
menjadi sebab utama perbedaan faham atas otoritas al-hadis adalah masalah yang
menyangkut akurasi dari al-hadis itu sendiri. Apakah al-hadis itu benar-benar
informasi dari nabi dan apa yang ada dan terjadi pada diri nabi. Dengan kata
lain, masalah ke-qath’an atas wurud (teks hadis). Jadi selama hadis
tersebut benar-benar dari nabi, maka seluruh kelompok / golongan dalam Islam,
sepakat mengakui otoritas al-hadis sebagai sumber dan dasar hokum Islam yang ke
dua setelah al-Qur’an. Dan atas logika pemahaman tersebut, dan tealitas
keberadaan al-hadis yang tidak seluruhnya mutawattir,
maka apa yang menjadi ketetapan al-hadis juga bernilai skunder dan tidak
dapat bertentangan dengan ketetapan al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran
Islam.
D. Ragam Pemahaman
Hadis
Hadis nabi
sebagai sumber hokum dan rujukan agama kedua setelah al-Qur’an difahami secara
beragama oleh kaum muslimin sebagai mana juga ragam pemahaman dalam kitabullah. Ragam pemahaman tersebut
umumnya berlatar belakang teologis atau dilakukan oleh para tokoh di kalangan
para penganut aliran teologi atau dilakukan oleh para tokoh di kalangan para
penganut aliran teologi dalam Islam (‘ulama’
mutakallimun). Dan ragam pemahaman tersebut pada akhirnya berimbas kepada
hamper seluruh komunitas Islam tanpa memandang aliran (firqah), faham (madzab), maupun
method (thariqah) dalam Islam.
Di antara kaum muslimin ada yang memegangi
hadis sebagai sumber ajaran Islam secara ketat, moderat dan liberal dan bahkan
ada juga yang mengingkarinya. Kelompok yang ketat menyakini hadis nabi sebagai
satu kesatuan dengan al-Qur’an yang bersifat qath’I (pasti). Dan sekaligus merupakan solusi satu-satunya dalam
menyelesaikan problema kehidupan manusia, dimanapun dan kapanpun. Dengan
pemahaman yang bersifat tekstual. Mereka itulah golongan ahlul hadis. Di antara ahlul
hadis yang ekstrim adalah para mutakllim
jabariy, para fuqaha’ madzab dhohiry,
dan para puritanis.
Sedangkan
golongan yang moderat adalah golongan ahli
sunnah, yakni mayoritas umat Islam yang secara politis mangakui keabsahan
keempat khalifah rasul. Mereka memiliki keyakinan bahwa hadis nabi adalah
sebagai sumber ajaran islam yang utama setelah al-Qur’an jika diketahui
orsinalitas hadis nabi sebagai benar-benar dari nabi dengan derajat keotentikan
Shahih, walaupun tidak sampai
mencapai derajat mutawattir (priwayatan
missal). Sedangkan hadis yang ternyata menurut penelitian para ahli kurang kuat
keotentikannya, tidak dapat dijadikan sebagai hujjah (dasar hukum) tetapi dapat dijadikan sebagai acuan motifasi
amal shalih (fadla-ilul a’mal).
Golongan ini adalah golongan yang berusaha memadukan logika kaum ahlul hadis dengan logika kaum ahlul ra’yi.
Sedangkan
golongan yang memahi hadis nabi dengan liberal (sangat bebas) adalah golongan qadariyah atau firqah mu’tazilah. Mereka memahami hadis nabi sebagai sumber ajaran
Islam yang ke dua setelah al-Qur’an, tetapi dengan catatan keabsahan tentang
orsinalitas hadis mencapai derajat mutawattir
dan dengan pemahaman yang diselaraskan dengan rasio serta menggunakan
pendekatan kontektual. Pemahaman semacam ini dilandasi dasar pemikiran, bahwa
posisi akal sebagai organ rohaniyah manusia yang dapat mengetahui kebenaran dan
memiliki kedudukan yang seimbang bahkan lebih tinggi dari pada wahyu.
Di antara sebab
munculnya pemahaman yang beragam atas hadis nabi adalah karena sifat internal
dari hadis nabi (ucapan-ucapan dan tindakan nabi) juga bersifat interpretatif
sebagaimana sifat al-Qur’an. Hal ini disebabkan oleh karena nabi banyak
mempergunakan ungkapan yang bersifat Jawami’
al-kalim (ungkspsn yang singkat tetapi padat makna),banyak juga beliau
mempergunakan bahasa tamtsil (permisalan),
simbolik, dan anologi.
Contoh-contoh ungkapan nabi yang dapat
difahami dengan pemahaman yang beragam;
1.
كل
مسكرخمروكل مسكر حرام (رواه البخاري و مسلم)
Artinya;
“Setiap yang memabukkan adalah khamar dan setiap yang memabukkan adalah haram”
HR. Bukhari-Muslim dll.
Secara
tektual hadis tersebut menunjukkan keharaman khamar tanpa terikat oleh waktu
dan tempat. Tetapi secara kontektual (praktek pengharaman khamar) yang berlaku
pada masa nabi dan sesuai dengan proses pangharam khamar dalam al-Qur’an ada
dispensasi sesuai dengan kepentingan dakwah.
2.
الدنيا
سجن المؤمن وجنه الكا قر(رواه مسلم و تر مذي)
Artinya;
“Dunia itu penjara bagi orang yang beriman dan surga bagi orang kafir” HR.
Muslim-Tirmidzi.
Hadis
ini dapat manimbulkan berbagai implikasi pemahaman terhadap kaum muslimin dalam
rangka menghadapi urusan dunia.
3.
ينزل ربنا تبا رك
وتعا لى وتعا لى كل ليلة الي السماء الد نيا حين يبقى ثلث اليل الاخر قيقول : من
يدعونى فا ستجيب له و من يسا لنى فا عطيه ومنيستغفرني فا غفر له (متفق عليه)
Artinya;
“Tuhan kita (Allah) tabaraka wa ta’ala setiap malam turun ke langit dunia pada
saat malam sepertiga terakir, (Allah) berfirman; barang siapa berdo’a kepada-Ku
niscaya Aku kabulkan, barang siapa yang meminta maka Aku akan memberinya, dan
barang siapa yang meminta pengampunan maka Aku ampuni dia”. HR. Bukhari-Muslim.
Ulama’
yang memahami hadis tersebut secara tektual kebanyakan menyatakan bahwa matan (redaksi teks hadis) tersebut
adalah lemah (dho’if) atau bahkan
palsu, karena bertentangan dengan keyakinan Islam dengan menggambarkan Allah
sebagai naik-turun ke langit dunia. Itu berarti menyamakan Allah dengan
makhluk. Padahal redaksi teks tersebut berkualitas shahih manakala difahami secara kontektual. Karena matan hadis yang
menyebutkan bahwa Allah turun ke langit dunia tersebut adalah limpahan rahmat-Nya.
Yakni di suatu waktu yang paling memungkinkan orang bermunajat secara khusu’.
4.
المؤمن
يا كل في معى واحدوالكا فر ياكل فى سبعة امعاء (رواه البخاري والبرميذي)
Artinya;
“orang yang beriman itu makan dengan satu Usus, sedangkan orang kafir itu makan
dengan tujuh Usus”. HR. Bukhari-Tirmidzi.
Secara
tektual, hadis tersebut menerangkan bahwa ususnya orang yang beriman dengan
orang kafir berbeda. Padahal dalam kenyataannya, anatomi manusia yang berupa
usus tidak ada perbedaan antara orang yang beriman dengan yang kafir. Dengan
demikian pemahaman tentang redaksi hadis tersebut haruslah difahami secara
kontektual.
Perbedaan
usus orang yang beriman dengan orang kafir adalah menunjukkan tentang pandangan
hidup seseorang tentang nikmat Allah termasuk di dalamnya tentang makan. Bahwa
orang beriman memiliki prinsip bahwa makan adalah sekedar untuk hidup,
sedangkan orang kafir adalah sebaliknya. Yakni hidup untukk makan. Sehingga
orang yang tidak beriman itu banyak menuntut dalam hal kelezatan makan.
Di
samping perbedaan pemahaman hadis dari segi matan
(redaksi) perbedaan pemahaman juga muncul dari sisi sanad (silsilah para periwayatan hadis). Dari sisi yang kedua ini
memunculkan perbedaan pendapat apakah hadis ini dipandang benar-benar abash
sebagai informasi akurat dari nabi. Apakah periwayatan tersebut merupakan
orang-orang yang terpercaya (tsiqqah) sebagai
pembawa berita dari nabi. Apakah rantai-rantai nama periwayatan itu benar-benar
pernah saling bertemu dll. Sehinnga para peneliti hadis mungkin banyak yang
berbeda pendapat tentang kwalitas sanad sebuah
hadis sehingga memberikan penilaian tentang keabsahannya juga berbeda antara
seorang peneliti dengan yang lain. Yang berakibat pada pengakuan terhadap
otoritas sebuah hadis sebagai sumber dan dasar hukum Islam.
E. Penutup
Demikian sekilas
tentang al-hadis yang merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an.
Dan sebagai sumber ajaran yang bersifat universal al-hadis bersifat
interpretatife. Dengan demikian, maka beragam pemahaman terhadap teks al-hadis
juga merupakan suatu keniscayaan yang justru akan berdampak pada kemaslahatan
yang lebih abadi. Dan oleh karena itu tidak perlu dijadikan sebagai sarana
untuk perpecahan umat. Tetapi justru dijadikan sebagai sarana untuk
mengakomodir segala macam bentuk perubahan dan kemajuan zaman.(metafisika)