Oleh, Dr. KH. Kharisudin Aqib, M. Ag
A . Makna
Kehidupan Tasawuf
Banyak sekali arti dan pengertian
tentang tasawuf yang dikemukakan oleh para ahli. Ada yang mengatakan bahwa
kalimat tasawuf itu diambil dari shafw,artinya bersih, atau shafa yang artinya
bersih juga. Ada sebagian lagi yang berpendapat bahwa kalimat itu diambil dari
“Shuffah” yaitu suatu kamar di samping masjid Rasulullah di Madinah (seperti
telah dibahas terdahulu). Ada juga yang mengambil sandaran kalimat ini dari
“Shaff” yaitu barisn-barisan shaf ketika sholat. Ada pula yang , mengambil
sandarannya dari kalimat “ Shau fanah” yaitu sebangsa buah-buahan kecil
berbulu-bulu yang banyak tumbuh di Arab.
Tetapi penyelidik-penyelidik Barat
mengatakan bahwa kalimat tasawuf itu diambil dari dua kata Yunani, yaitu Theo
dan Sofos. Theo artinya Tuhan, Sofoa artinya Hikmat.
Adapun definisi dari tasawuf adalah
sebagaimana duikemukakan ole Al-Junaid :
Tasawuf ialah membersihkan hati dari
apa yang ganggu perasaan kebanyakan makhluk, berjuang meninggalkan pengaruh
budi yang asal (instink) kita, memadamkan sifat-sifat kelemahan kita sebagai
manusia, menjauhi segala seruan dari hawa nafsu, mendekati sifat-sifat suci
kerohanian, dan bergantung kepada ilmu-ilmu hakikat, memakai barang yang terlebih
penting dan terlebih kekal, menaburkan nasehat kepada sesame umat manusia,
memegang teguh janji dengan Allah dalam hal hakikat, dan mengikut contoh
Rasulullah dalam hal syari’at.
Ada juga yang mengartikan :”Tasawuf
adalah kemerdekaan sehingga manusia terbebaskan dari ikatan-ikatan nafsu
kemarahan hati.”
B. Sejarah
Perkembangan Tasawuf
Kehidupan sufi itu sudah terdapat
pada diri Nabi. Sehari-hari ia hidup sederhana dan menderita, disamping ia
menghabiskan waktunya dalam ibadat, dalam mendekati Tuhannya. Nabi Muhammad
yang member contoh pertama tentang hidup sederhana itu, tentang menerima
seadanya, menjadikan hidup rohani lebih tinggi dari pada hidup kebendaan yang
mewah, dan mengajak manusia untuk meninggalkan berebut-rebutan kekayaan dan
kesenangan dunia, dengan meninggalkan tujuan hidup yang pokok. Ia member contoh
bahwa kekayaan dan kesenangan itu tidak abadi, ia mengajak agar mencari kelezatan
hidup yang lebih tinggi dari pada itu, yaitu hidup sepanjang ajaran pencita
dunia ini.
Tetapi perkataan tasawuf atau
perkataan sufi belum dikenal orang dalam zaman Nabi atau sahabat-sahabatnya.
Hanya dari perkataan yang diucapkan mereka serata perbuatan-perbuatan yang
dikerjakannya dapat ditarik kesimpulan, bahwa hidup mereka itu lebih banyak
diarahkan kepada kehidupan rohani dari pada kehidupan duniawi. Amal-amal
kerohanian ini tampak jelas dilihat dalam ibadat-ibadat agama mereka. Jika
orang lain melakukan ibadat itu hanya untuk memenuhi syarat rukun agama
semata-mata, mereka menunaikannya dengan tujuan yang lebih mendalam, mencari
hikmah-hikmah yang lebih tinggi dari pada amal perbuatan lahir semata-mata.
Pada abad I Hijrah, lahirlah Hasan
Al-Basri (meninggal 110 H.) dengan ajarannya mengenai khauf, mempertebal takut kepada
Tuhan, begitu juga tampil ke muka-muka guru yang lain, yang dinamakan
qari’, mengadakan gerakan memperbaruhi hidup
kerohanian dalam kalangan kaum muslimin. Sebenarnya bibit sufi sudah muali ada
sejak itu, garis-garis besar mengenai tariq atau jalan beribadat sudah
kelihatan disusun, dalam ajaran-ajaran yang dikemukakan di sana sini sudah
mulai dianjurkan mengurangi makan, juga menjauhkan diri dari kehidupan duniawi,
zuhud dan zimmidunya, termasuk kerinduan kepada harta benda dan kecintaan
kepada keluarga, kethamaan kepada nama dan kedudukan.
Dalam abad II Hijrah timbul
ajaran-ajaran baru yang penuh dengan hikmah, orang tidak puas lagi dengan hokum
fiqh yang kering. Orang lalu memakai istilah-istilah yang pelik mengenai
kebersihan jiwa, thaharatun nafsi, kemurnian hati, naqaul qalbi, hidup ikhlas,
menolak pemberian orang, bekerja mencari makan dengan tanga sendiri, berdiam
diri, menyedikitkan maka, memerangi hawa nafsu dengan khalwat, melakukan
perjalanan dan safar, berpuasa, mengurangi tidur atau sahar, serta memperbanyak
dzikir dan riadlah. Lalu sampailah pada abad yang III Hijrah, orang
membicarakan latihan rohani yang dapat membawa manusia kepada Tuhannya. Jika
pada akhir abad II ajaran sufi merupakan kezuhudan dalam abad III ini orang
sudah meningkatkan kepada wusul atau ittihat dengan Tuhan. Orang sudah ramai
membicarakan tentang lenyap dalam kecintaan, fana fil mahbub, kekal dengan
Tuhan, melihat Tuhan, musyahadah, bertamu dengan Tuhan, Liqa’, dan menjadi satu
dengan dia, ainul jama’, sebagai yang diucapkan Abu Yazid Busthami, dengan teriakan
: “ Sayalah yang Hak itu ” (Ana al-Haq), atau dengan masukan Tuhan, hulul,
sebagai yang dipertahankan oleh Al Hallaj (meningggal 309H.).
Dalam abad III Hijrah dan
selanjutnya ilmu tasawuf sudah demikian berkembang kemajuannya, sehingga sudah
merupakan madzhab, bahkan seolah-olah merupakan agama yang tersendiri.
Guru-guru tasawuf itu mempunyai pengaruh besar, merupakan pengarang-pengarang yang
ternama, sehingga kitab mengenai ilmu apapun yang terdapat dalam isalm diberi
corak dan rasa tasawuf itu. Terutama dalam ilmu akhlak tidak dapat
ulama’-ulama’ lebih sanggub menyamai keistimewaan mereka.
C. Runtuhnya
Gerakan Tasawuf (Sufisme)
Orang sufi melihat kerusuhan dalam
dunia ini disebabkan oleh dua keadaan, pertama karena manusia itu tidak percaya
adanya Tuhan, kedua karena manusia itu terlalu mencintai dirinya sendiri. Sebab
pertama mengakibatkan tidak takut dan tidak patuh kepada perintah dan larangan
Tuhan. Sebab yang kedua mengakibatkan mencintai harta benda dan kekayaan,
mencintai makanan dan minuman yang lezat, mencintai anak istri yang
berlebih-lebihan, mencintai kedudukan dan pengaruh yang akhirnya membawa kepada
kecintaan yang sangat kepada dunia dan ingin hidup kekal di atas permukaan
bumi.
Seorang peneliti mesir modern
mencatat adanya penyimpangan tasawuf dinegerinya sejak terjadi
kekalutan-kekalutan ekonomi dan politik pada paruh kedua abad IX H/15 M. dan
awal abad X H/16 M. Gambaran yang
tergurat dalam kehidupan tasawuf dalam kurun-kurun tersebut
menyingkapkan betapa kebodohan berjaya penuh atas nalar normal. Wali-wali
kenamaan tak cuma memamerkan penghinaan keji terhadap kewajiban-kewajiban
ritual islami, tapi juga menciptakan bualan agar shalat ditinggalkan,
legenda-legenda tentang keajaiban-keajaiban dikaitkan dengan tokoh sufi.
Khurafat dan tahayul tumbuh subur dan membaurkan perklenikan dengan cita-cita
mulia. Hidup memalukan, berlaku tidak senonoh, bicara tak karuan, merupakan
jalan mulus menuju ketenaran, harta dan tahta. Para sufi akan menciptakan bualan-bualan
khufarat, dan mereka bernafsu meraih pujian masyarakat disamping menumbuhkan
kepercayaan bagi pernyataan-pernyataan mereka tentang berbagai kekuatan ghaib.
Sementara itu magis memperoleh kedudukan yang kian besar dalam khasanah amalan
mereka, sedang tasawuf terdahulu sama sekali bersih dari berbagai mistik.
Demikianlah masa gelap tasawuf
sufisme pada akhir hayatnya. Hal ini merupakan gambaran yang keseluruhannya
berada di hadapan mata pemikir-pemikir muslim modern, sewaktu nereka menulis
tentang gerakan tasawuf secara umum. Bisa dipahami kebangkitan kembali ilmu
pengetahuan dalam Islam dibarengi dengan reaksi keras terhadap pelbagai
penyelewengan dan perklenikan, yang memang pantas dipandang sebagai biang
keterbelakangan umat. Tasawuf kini kian menjadi sasaran pertama gempuran para
cendekiawan yang berang, yang ingin melihat negerinya merdeka, dan bangsanya
terlepas dari belenggu perbudakan spiritual.
Artikel yang bagus dan menambah wawasan.
BalasHapusSilahkan juga mampir ke halaman kami yaa
https://www.darus.id/2020/06/sejarah-singkat-tasawuf.html