Oleh : Dr. Kh. Kharisudin Aqib, M. Ag
A. Sekilas
Pandangan Tentang Kehidupan Sufi
Dari awal tumbuhnya tasawuf
sampai pada abad ke delapan, tasawuf mengalami periodenisasi sejalan dengan
perkembangan ajarannya. Dan dari setiap priode tersebut tasawuf telah
meninggalkan persoalan-persoalan yamg mengundang perdebatan yang sengit di
kalangan para ulama.
Untuk membicarakan
persoalan-persoalan tersebut khususnya yang timbul pada masa sekarang, perlu
kiranya mengetahui pemahaman tentang tasawuf itu sendiri. Dr. Ibrahim Al Basuni
dalam bukunya “Nasy’atus Tasawuf Al Islami” berusaha untuk mendefinisikan
tasawuf setelah mengkaji empat puluh definisi yang berkembang pada abad ketiga
sampai abad keempat hijriah, ia memberikan kesimpulan sebagai berikut :
Tasawuf adalah kesadaran yang suci,
yang mengarahkan adanya hubungan yang erat dengan zat yang mutlak adanya.
Dalam definisi tersebut dapat
ditegaskan bahwa tasawuf itu adalah suatu cara untuk menghubungkan diri seorang
hamba dengan khaliqnya melalui mujahadah. Mujahadah yang dimaksud secara garis
besarnya adalah taubah, zuhud, ridla, tawakkal, khulwat dan dzikir.
1. Taubah
Para ulama tasawuf memahami taubah
dengan tiga tingkatan : taubah dari dosa, yang berarti taubat yang dilakukan
oleh seorang hamba karena berbuat ma’siat (durhaka) atau disebut “taubatul
jahilin”. Kedua taubah dari kotornya hati, yaitu yang dilakukan karena
keinginan hati berbuat durhaka. Taubah ini sering disebut para ulama tasawuf
dengan “taubatul ‘abidin”. Ketiga taubat karena melupakan Tuhan, yaitu taubat
yang dilakukan karena hati melupakan Tuhan atau yang disebut “taubatul
‘arifin”.
2. Zuhud
Para ulama taswuf mengartikan zuhud
ini dengan pemahaman yang berbeda-beda, namun di sini dapat disimpulkan bahwa
zuhud itu adalah tidak adanya perhatian seseorang hamba kecuali pada Tuhannya.
3. Ridla
Ulama tasawuf memahami ridla ini
merupakan buah dari zuhud, ridla dianggap berhasil bila dapat mengosongkan jiwa
dari keinginan-keinginan yang bersifat keduniaan. Sedangkan tanda dari adanya
ridla adalah : sedikit makan, iftiqar (merasa selalu butuh kapada khaliq atau
sang pencipta) dan sabar menerima segala cobaan.
4. Tawakkal
Ahli tasawuf mengartikan tawakkal bahwa kehendak seorang hamba sepenuhnya
ada pada kehendak Tuhan. Tanda-tandanya adalah : memutus hubungan dengan semua
makhluk dan menyerahkan diri sepenuhnya pada Tuhan.
5. Khulwat
dan Dzikir
Khulwat dan Dzikir merupakan suatu
kesatuan kata yang berarti berzdikir dengan cara menyepikan diri dari
keramaian. Khulwat merupakan cara yag paling efektif dalam mencapai kesucian
diri dan membuahkan kecintaan yang abadi terhadap Dzat yang mutlak. Dan hal ini
tak mungkin dapat dilakukan kecuali dengan menjauhkan diri dari segala bentuk
kemewahan hidup dan kehidupan dengan tiga hal yang tak dapat ditinggalkan.
-
Pertama adalah wahdah, yaitu konsentrasi hamba hanya
pada ibadah semata.
-
Kedua, shahbah yaitu kebersamaan hati dengan
orang-orang salhaleh.
-
Sedangkan ketiga, dzikir tidak hanya terbatas pada
lisan dan tidak hanya terdapat pada suatu bentuk kata-kata, tapi dzikir
merupakan peleburan diri seorang terhadap yang ia dzikiri, yang dalam hal ini
adalah Dzat Yang MahaAgung.
B. Persoalan-persoalan
Akhlak Tasawuf masa Kini
Masyarakat sekarang adalah
masyarakat yang harus siap menghadapi tantangan zaman dengan spiritual yang
mantap untuk mangantisipasi dampak negative yang ada dalam dirinya dan terbawa
oleh perkembangan zaman. Dalam hal ini Tofler mengatakan “bahwa merajalelanya
kultus adalah gejala sosial yang membingungkan yang hanya dapat diterangkan
jika kita melihat gejala-gejala negative masyarakat industry, yaitu kesepian,
hilangnya struktur kemasyarakatan yang kukuh, dan ambruknya makna yang berlaku
; dengan kata lain masyarakat industry mengakibatkan alineasi atau keterasingan
pada diri pribadi anggotanya. Alineasi itulah yang menyebabkan orang tertarik
pada kultus-kultus. Sebab alineasi menimbulkan kesepian yang mencekam, yang
menidurkan perkawanan akrab dan hangat, yang mendambakan suatu penjelasan
tentang apa dan kemana hidup ini.
Abad mendatang adalah spiritual
melalui agama-agama sehingga ada indikasi menaikkan spiritualisme di kalangan
masyarakat lebih tinggi dari pada abad sebelumnya, sebagian mereka percaya
bahwa “Tuhan adalah kekuatan spiritual positif dan aktif” meskipun gejala itu
disertai dengan menurunnya peranan agama-agama formal kalangan muda yang
terpelajar sekolah-sekolah tinggi, mereka menilai bahwa mereka sibuk dengan
masalah-masalah keorganisasian dengan mengesampingkan isu-isu teologis dan
spiritual, sehingga dikatakan mereka itu bukan manusia beragama melainkan
berkerohanian.
Sebagai konklusinya,kita kembali kepada penegasan
Nabi bahwa sebaik-baik agama di sisi Allah yaitu agama Islam, yang mempunyai
semangat lapang dan terbuka harapan kepada agama yang berdaulat semangat
kebenaran yang lapang dan terbuka itu sungguh besar untuk menolong manusia
mengatasi alienasi zaman modern ini, yaitu persoalan baimana menakhlukan kembali
ciptaan tangannya sendiri dan bagaimana agar manusia tidak terjerembab ke dalam
praktek penyembahan berhala modern, dan bagaimana agar menusia selamat dari
kekeramatan thaghut bentuk baru. Emile Dergemanghem, misalnya mengharab
agar islam sebagai agama terbuka akan berkembang dan ikut perkembangan zaman
sebagai seorang yang mendalami ajaran-ajaran tasawuf, dia melihat dalam Islam
unsur-unsur keterbukaan itu, yang tinggal hanya terserah kepada penganutnya
untuk berkembang, bahkan menurut pendapatnya Islam adalah humanism terbuka.
Itulah landasan dasar untuk menancapkan taring-taring tasawuf pada
saat ini yang sangat didambakan oleh masyarakat. Sehingga sesuai dengan
persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat dan yang menyangkut masalah
tasawuf yang mendasr dan perlu dijawab adalah sebagai berikut :
1. Masalah
Anti Dunia dan keseimbangan
Pandangan sufi klasik yang anti
dunia mengami perubahan yang paling mendasar pada zaman modern. Dr. Said
Romadhon menawarkan spiritualisme sosial yang secara ringkas sebagai berikut :
- Membaca
dan merenungkan kitab suci Al-Qur’an
- Mambaca
dan mempelajari makna kehadiran Nabi melalui sunnah dan biografinya
- Memelihara
hubungan dengan orang-orang shaleh seperti para ulama’ dan tokoh islam
yang zuhud
- Menjaga
diri dari tingkah laku tercela
- Mempelajari
tentang hal-hal ruh dan metafisika Al-Qur’an dengan sikap penuh percaya
- Melakukan
ibadah-ibadah wajibdan sunnah seperti sembahyang lima waktu dan sunnah
rawatib dsb.
Sedangkan keseimbangan adalah sebagai berikut :
-
Jika orang dengan halus menghadapi dirinya kemudian
memenuhi hak badannya, sejalan dengan sunnatullah dan hidup dengan damai di
dunia dan akhirat.
-
Jika ia cenderung hanya kepada salah satu dari dua
jurusan itu, sambil berpaling dari yang alin, maka ia telah berbuat dhalim pada
dirinya dan menghadapkan dirinya itu menentang sunnatullah, barang siapa yang
menghadapi dirinya itu menentang kebenran tentu akan hancur.
Maka orang ayng hidup sekarang yang hanya mementingkan harta berlomba
untuk sepotong roti, tenggelam dalam urusan badani, sibuk dengan penghormatan
kosong dan kemegahan palsu, menyia-nyiakan tuntutan akan dan kalbunya hanya
untuk kenikmatan muspro itu, dia adalah orang yang terkecoh dari hakikat
dirinya, terdinding dari inti hidup, ia menginginkan agar sunnatullah
mengangkatnya ke dalam lam yang lebih tinggi, namun tergelincir dari kemuliaan
itu, dan tetap saja memutuskan hubungan tersebut.
Sedangkan orang yang mengarahkan dirinya hanya untuk memenuhi tuntutan
ruhnya lalu menggunkan waktu siangnya untuk puasa dan malamnya untuk berdiri
(shalat), sepanjang umurnya untuk merenung sematasambil mengingkari hal-hal
dari hidup duniawi lalu tidak berpakaian kecuali yang kasar, tidak makan
kecuali yang kering kerontong dengan tujuan agar potensi hidupnyalahiriyah
menjadi lemah dan menurut anggapannya agar potensi rohaniyahnya menjadi hebat,
dia adalah orang yang bodoh tentang hakikat hidup, menyiapkan akan salah satu
dari dua segi hidupnya. Cukup hal itu baginya sebagai kerugian dan pengingkaran
terhadap perintah Allah. Itulah inti ajaran yang digambarkan Rasulullah saw.
Tentang sikap hidup yang benar dan sehat, serta berlebihan itu adalah tercela
biarpun mengenai sikap seorang hamba dalam kehidupan ruhnya. Sebab tidak terima
dari hambanya jika sunah-Nya diabaikan kemudian menyangka bahwa sikap tersebut
membawa kepada keridhaannya. Itulah sebnarnya konsistensi ajaran yang
etrkandung dalam ajaran agama Islam. (QS. 28 :77).
2. Masalah
‘Uzlah
Kalau Imam Al-Ghazali mengadakan
pengasingan diri maka Hamka tidak dengan melakukan pengosongan diri atau ‘uzlah
melainkan tetap aktif melibatkan diri dengan masyarakat. Hal ini juga difahami
oleh Ibn Qoyim, Ibn Taimiyah dan juga tokoh Neo Sufisme yang dikategorikan oleh
fazlurrahman. Sepanjang aktifitas keduniaannya (ekonomi, sosial, polotik dll.)
tidak melupakan pada mengingat Allah adalah sah-sah saja, karena ‘uzlah atau
nyepi tidak bermakna fisik. ‘uzlah adalah mengasingkan diri (jiwa) dari
keramaian urusan dunia dengan melupakan ingat kepada Allah.
3. Masalah Hulul
dan Wihdatul Wujud
Tasawuf yang harus diwaspadai adalah
yang ebraliran filsafat yang dinukil dari orang-orang India dan Yunani yang
memiliki kenyakinan inkarnasi (hulul) dan wihdat al-wujud (menyatukan manusia
dengan Tuhan) yang mengikuti kehendak perasaan yang jauh dari petunjuk-petunjuk
Islam serta tidak dibenarkan oleh wahyu Ilahi ; begitu juga terdapat tasawuf
yang serupa dengan kerahiban Budha dan Kristen yang etlah mengumumkan perang
etrhadap jasad yang tidak berakal dan berniali atau mengesampingkan kehidupan
dunia dan tidak menyibukkan diri terhadapnya. Tasawuf ini menjadikan mereka
suatu generasi yang berdiam diri dan menjauh diri dari kehidupan sehingga Islam
diselewengkan sepanjang masa, mereka tidak pernah berhasil meraih kehidupan
dunia dan kehidupan akhirat.
Kita menolak keras aliran tasawuf yang beraliran seperti itu, dan kita
dengan tegas dapat memastikan bahwa Islam tidak membenaerkan dan bahkan
mengingkarinya, dan hal itu berlawanan dengan fitrah manusia, berlawanan dengan
ilmu pengetahuan dan tidak selaras denag ketinggian martabat manusia.
4. Masalah
Ijtihad
Ibnu Taimiyah, yang oleh
Fazlurrahaman disebut sebgaia pelapor sufisme baru, tetap menunjukkan
apresiasinya kepada ijtihad mereka dalam mendekati Allah melalui dzikir-dzikir
dan wirid-wirid yang mereka ajarkan. Ibnu Taimiyah dalam member apresiasi itu
tanpa berarti meninggalkan sikap
kritisnya yang terkenal denagn sufisme popular, yang dengan praktek-praktek pemujaan
kepada orang-orang suci dan kubur-kubur mereka itu, maka dalam sufi popular
dalam pandangannya lebih mendekati syirik, begitu pula cara mereka dalam
mendekati dzikir dan melakukan dzikir, Ibnu taimiyah sering melancarkan kritik
yang tandas sekali, walaupun begitu secara keseluruhan dia memandang
bahwa tasawuf dan sufisme adalah sejenis ijtihat dan mendekati Allah.
Jadi dalam tasawuf ada unsur-unsur
yang baik yang merupakan hasil ijtihad yang tulus untuk taat kepada Allah dan
mendekat kepadanya, selain juga pada sekalian kaum sufi sendiri ada hal-hal yang
merupakan hasil bid’ah. Hal ini sama saja dengan bidang kehidupan keagamaan
lainnya dikalangan kaum muslimin. Sebagian berasal dari kitab dan sunnah yang
kemungkinan terjadi ijtihad dalam pemahaman dan pemgalamannya, sebagian lagi
adalah hasil pemahamamn yang tidak sah kepada agama yang bid’ah.
5.Masalah
Dzikir
Dengan
ajaran sufisme mengajarkan tentang dzikir yaitu ingat kepada Allah dengan
berbagai macam bentuk lafadh mufrad yang banyak di cantumkan dalam Al-qur’an. Tetapi
dengan pendangan sufisme baru, sekurang-kurangnya menurut Ibnu Taimiyah, dzikir
dengan nama tunggal/isim mufrad, tidak dianjurkan menurut petunjuk Nabi
sendiri, dzikir yang utama adalah kalimat lengkap “ Laa Ilaaha Illallah “
karena di situ terkandung kalimat lengkap, yaitu peniadaan jenis penyembahan
apapun kecuali kepada Allah sebagai satu-satunya yang boleh berhak dan harus di
sembah.
Dengan dzikir dengan kalimat lengkap
dan bermakna, maka menurut Ibnu Taimiyah, seseorang lebih terjamin dari imanya
karena kalimat serupa itu adalah aktif, menegaskan makna dan sikap tertentu yang
positif dan baik sedangkan dzikir dengan lafadh tunggal belumlah tentu
demikian, lebih menarik lagi ibnu Taimiyah memperluas lingkungan makna dan
semangat dzikir kepada Allah iti sehingga meliputi semua aktifitas (akan
fasilitas) manusianya yang membuatnya dekat kepada Allah seperti mempelajari dan
mengajarkanya serta menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar.
Itulah beberapa permasalahan yang
sempat penulis hantarkan sebagai kesimpulannya bahwa penghayatan keagamaan
batini yang menghendaki hidup aktif dan
terlibat dalam masalah-masalah kemasyarakatan yang sesekali menyingkirkan diri (‘uzlah)
mungkin ada baiknya tapi jika hal itu untuk menyegarkan kembali wawasan dan
meluruskan pandangan yang kemudian dijadikan tolak untuk melibatkan diri dalam
aktifitas lebih lanjut. Pengalaman metafisis pribadi adalah boleh saja namun
bersifat pribadi dan tidak berlaku untuk orang lain, juga tidak boleh diklaim
bahwa itu yang paling benar, sebab kebenarannya sebanding dengan kebersihan
hati yang paling benar, pengalaman itulah sumber kebahagiaan hidup pribadi yang
tidak ada taranya, namun hal itu tidak disertai orang lain atau orang lain
tidak dapat disertakan ke dalamnya. Sufisme baru mengharuskan praktek dan
pengalamannya tetap dalam control kitab dan sunnah. Tetapi sufisme baru
mengajarkan dibukunya peluang bagi penghayatan makna keagamaan dan
pengalamannya yang lebih mendalam yang tidak terbatas hanya segi lahiriyah
belaka.
Sehinggga tidak heran jika
pembaharuan-pembaharuan dalam memahami sufi, contohnya pemahaman tarekat modern
yang dipahami tarekat Suralaya yang intinya sebagaimana dikatakan dalam Ulumul
Qur’an “Kejarlah dunia sebanyak-banyaknya , kejarlah pangkat dan harta
sebanyak-banyaknya, tetapi semua itu tidak membuat engkau lengah untuk
berdzikir kepada Allah, “bahkan mengejar kepentingan dunia itu harus dalam
rangka ibadah kepada Allah.
Hal yang lebih mendasar dari
berbagai persoalan-persoalan yang sering kali muncul dan menjadi bahan
perbincangan dan kajian di antara kaum muslimin adalah apakah kehidupan
sufistik masih relevan atau aplikatif dalam kehidupan masyarkat modern seperti
sekarang ini atau mungkin masih tetap dapat berlaku dengan beberapa modifikasi
dalam penerapannya sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia di abad modern
ini, sesuai dengan hikmah kerasulan Nabi Muhammad saw. Dan syari’at agama
Islam.
Dan aku tidak mengutusmu (Muhammad)
kecuali sebagai rahmat untuk semua alam. (QS. 21 : 107).
Comments[ 0 ]
Posting Komentar