- Latar
Belakang
Manusia sebagai khalifatullah
memiliki peran strategis dalam pengelolaan alam semesta. Di tangan manusialah
keharmonisan hidup di alam ini ditentukan. Karena ia sebagai khalifah (wakil)
Allah untuk memimpin dan mewakili Allah dalam meratakan rahmat-Nya
kepada semua makhluk.
Diutusnya rasul-rasul
(para utusan Allah) untuk membawa ajaran agama, merupakan realisasi dari konsep
rahmat Allah yang paling agung di samping akal. Melalui para utusan
tersebut Allah memberikan petunjuk dan pedoman hidup, agar manusia dapat
mencapai kebahagian hidup di dunia maupun di akhirat.
Sedangkan karunia agung yang berupa akal (rasio) merupakan
alat untuk dapat memahami informasi dan petunjuk-petunjuk dari Allah. Dengan
akal manusia dapat memilih jalan hidupnya. Apakah ia akan memilih mengikuti
kehendak Tuhan atau mengikuti kehendak hawa nafsu. Karena itu manusia harus
mempertanggung jawabkan amanah (mandat) Tuhan sebagai khalifahnya.
Realitas alam menunjukkan, bahwa tidak semua manusia
berperan sebagai khalifatullah yang adil, jujur dan bertanggung jawab. Di
samping manusia sebagai pembangun peradaban di alam semesta, ia pula yang
menjadi perusak utamanya. Di tangan merekalah kerusakan daratan maupun lautan.
Manusialah makhluk yang paling mulia, dan manusia juga makhluk yang paling
hina.
Manusia adalah makhluk yang paling jelas memancarkan
sifat-sifat ketuhanan. Bahkan manusia adalah miniatur alam semesta (micro
cosmose). Manusia ada matahari sekaligus rembulan. Dia juga mewakili gelap
dan terang. Ia terpersonifikasikan dalam dua profil agung Adam dan Hawa. Agar
terjadi dialog di antara keduanya.
Gerakan balancing (keseimbangan) peran sosial
antara pria-wanita (gender), telah diperjuangkan semenjak 15 abad yang silam.
Perjuangan atas hak-hak wanita yang telah dibonsai oleh sebuah tirani peradaban
yang “bodoh”. Peradaban yang secara tidak manusia mengekploitir hak-hak wanita
sebagai bagian penting dalam kehidupan alam semesta.
Catatan sederhana ini menyoroti relasi antara pria dan
wanita dalam prespektif sufistik. Sebagai bahan diskusi untuk menambah kearifan
hidup, Semoga bermanfaat untuk semua.
B.
Pria dan wanita
Allah menjadikan alam semesta – termasuk- manusia,
berpasang-pasangan. Yang
satu dengan yang lainnya saling terikat dan saling membutuhkan. Ada siang ada
malam, ada kiri ada kanan, ada baik ada buruk, ada gelap ada terang. Ada rasa
benci dan ada rasa senang. Ada yang di atas dan ada yang di bawah, ada basah
ada kering, ada panas ada dingin. Ada isi ada kulit , ada kawulo ada gusti, ada
laki-laki dan ada perempuan. Semua pasangan hidup makhluk di alam semesta
tercerminkan dalam keberpasangan genus manusia.
Di samping mencerminkan realitas alam semesta, manusia
bahkan mencerminkan asma’ (nama-nama) dan sifat-sifat Tuhan. Karena alam
semestapun merupakan pencerminan dari realitas dan keberadaan-Nya. Bahkan
penciptaan manusia merupakan miniatur atau creasi ke dua dari Tuhan kepada
alam.Yakni penciptaan Adam yang selanjutnya “melahirkan” Hawa (dalam suatu
proses emanasi biologis atau clonning).
Eksistensi Adam dan Hawa adalah miniatur keberadaan Tuhan
dan alam (dan inti alam adalah Adam). Sehingga dapat dikatakan, bahwa hubungan
Adam dan Hawa, adalah miniatur dari hubungan Tuhan dan alam (Adam). Sehingga eksistensi tiga entitas
ini (Tuhan, Adam dan Hawa), adalah inti realitas. Dengan kata lain eksistensi relationship
(hubungan) antara pria dan wanita adalah miniatur hubungan antara manusia
dengan Tuhan.
Hubungan kemitraan antara pria dan wanita, adalah realisasi perlunya hubungan antara si
kuat dengan si lemah. Bahwa kemitraan antara si kuat dengan si lemah adalah
penting. Si kuat tidak boleh melecehkan si lemah. Karena baik yang kuat maupun
yang lemah saling membutuhkan. Untuk kesempurnaan hidupnya yang kuat
membutuhkan kelembutan dari yang lemah. Sementara yang lemah membutuhkan
perlindungan dari yang kuat.
Hubungan suami-istri antara pria dan wanita adalah
manifestasi hubungan sakral antara asal dengan bagiannya. Pria sebagai asal dan
wanita adalah bagian dari pria terpisahkan oleh sebuah kelahiran. Pria
merindukan wanita sebagimana asal merindukan bagiannya. Dan wanita merindukan
pria sebagai bagian merindukan asalnya.
“Pertemuan” antara
pria dan wanita (fisik maupun psikhis), merupakan miniatur pertemuan suci
antara manusia dengan Tuhan. Sehingga nilai hubungan cinta sejati antara suami
dan istri adalah sangat agung. Bahkan
lebih besar nilainya dari berperang melawan orang kafir dan Yahudi.
Dan orgasme adalah miniatur kenikmatan spiritual yang disebut fana’ fillah
(sirna dalam Tuhan).
Hubungan Sosial antara pria dan wanita merupakan cerminan
dari hubungan antara publik dengan domestik-nya. Antara
masyarakat dengan tempat tinggalnya.
Pria sebagai pemeran publik (masyarakat) sedangkan wanita adalah
pemeran domestik (tempat tinggal).
Masyarakat perlu tempat tinggal (rumah maupun lingkungannya), sedangkan
tempat tinggal dan miliu memerlukan masyarakat dan penghuninya. Masyarakat yang
tidak memiliki tempat tinggal akan merana, sementara tempat tinggal yang tidak
ada penghuninya juga nestapa.
Termasuk tanda-tanda kekuasaan Allah, adalah penciptaan
Allah atas pasangan hidup pria dengan wanita, yang dengan ketemu pasangan
tersebut hati masing-masing menjadi tenang, dan adanya kasih sayang di antara
keduanya.
C.
Penutup.
Kesimpulannya, bahwa Islam dimensi mistis (tasawuf), sangat mementingkan
keseimbangan peran antara pria dan wanita secara porposif dan profesional.
Pelecehan antara satu dengan yang lain,
dan arogensi peran dalam sebuah simbiosis mutualisme adalah menyalahi
sunnah, hukum dan hikmah Allah.
Comments[ 0 ]
Posting Komentar