Dunia
Pendidikan Modern
Dalam keyakinan Islam, berbagai krisis yang terjadi merupakan fasad (kerusakan) yang
ditimbulkan oleh karena tindakan menusia
sendiri. Ditegaskan oleh Allah :
ظهرالفساد
فى البر والبحر بما كسبت أيدالناس ليذ يقهم بع
ض الذي عملوا لعلهم يرجعون
“Telah nyata kerusakan di daratan dan di lautan oleh karena tangan–tangan manusia supaya mereka merasakan
sebagian dari akibat perbuatan mereka, barangkali mereka mau kembali ” (QS. ar
rum, 30:41)
Muhammad Ali As-Shabuni dalam kitab Shafwatu al-tafasir
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan bi ma kasabat aydinnas
dalam ayat itu adalah “oleh karena kemaksiyatan-kemaksiyatan dan dosa–dosa yang
dilakukan manusia (bi sababi ma’ashi al-naas wa dzunubihim)”. Maksiyat
adalah setiap bentuk pelanggaran terhadap hukum Allah, yakni melakukan yang
dilarang dan meninggalkan yang diwajibkan. Dan setiap bentuk kemaksiatan pasti
menimbulkan dosa .
Selama ini terbukti di tengah–tengah masyarakat, termasuk
dalam penataan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, banyak sekali kemaksiatan
dilakukan . Dalam sistim sekuler, aturan–aturan islam memang tidak pernah
secara sengaja selalu dilakukan. Agama islam, sebagai mana agama dalam
pengertian barat, hanya ditempatkan urusan individu dengan Tuhan saja.
Sementara dalam urusan sosial kemasyarakatan, agama (islam) ditinggalkan .
Maka di tengah- tengah sistim sekuleristik tadi lahirlah
berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama .Yakni tatanan ekonomi
yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik,
kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang
sinkretistik serta paradigma pendidikan yang materialistik. Dalam tatanan
ekonomi kapitalistik, kegiatan ekonomi digerakkan sekedar demi meraih perolehan materi tanpa
memandang apakah kegiatan itu sesuai dengan aturan islam atau tidak. Aturan
islam yang sempurna dirasakan justru menghambat. Sementara dalam tatanan
politik yang oportunistik, kegiatan politik tidak didedikasikan untuk tegaknya
nilai –nilai melainkan sekedar demi jabatan dan kepentingan sempit lainnya.
Dalam tatanan budaya yang hedonistik, budaya telah
berkembang sebagai bentuk ekspresi pemuas nafsu jasmani. Dalam hal ini, Barat
telah menjadi kiblat ke arah mana “kemajuan” budaya harus diraih. Ke sanalah
dalam musik, mode, makanan, film , bahkan gaya hidup ala barat orang mengacu.
Buah lainnya dari kehidupan yang materialistik–sekuleristik adalah makin
menggejalanya kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik .Tatanan
bermasyarakat yang ada telah memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada
pemenuhan hak dan kepentingan setiap individu. Koreksi sosial hampir-hampir
tidak lagi dilihat sebagai tanggung jawab bersama seluruh komponen masyarakat.
Sementara itu sistem pendidikan
yang materialistik terbukti telah gagal melahirkan manusia shaleh yang
sekaligus menguasai iptek. Secara formal kelembagaan , sekurelisasi pendidikan
ini telah dimulai sejak adanya dua kurikulum pendidikan keluaran dua departemen
yang berbeda., yakni Depag dan Depdikbud.Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa
pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) adalah suatu hal yang berada di
wilayah bebas nilai, sehingga sama sekali tak tersentuh oleh standart nilai
agama. Sementara, pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting
dari proses pendidikan justru kurang tergarap secara serius.
Jauh sebelumnya, bahkan
Hillliard (1966) – penulis masalah
kekristenan dalam pendidikan (Cristianity in Education ) seperti yang
dikutip oleh Husain dan Asharaf (1994) dalam buku Menyongsong Keruntuhan
Pendidikan Islam , secara transparan telah menjelaskan, bahwa skularisasi
pendidikan memang telah meruncing dan akhirnya benar-benar terbentuk di barat
pada abad 15 dan 16, yakni ketika terjadi pemisahan cabang-cabang ilmu
skuler dengan cabang-cabang ilmu yang
bersumber dari agama. Cabang-cabang ilmu dinyatakan terputus kaitannya dengan
persoalan ilahiyah dan hanya bersumber dari akal manusia semata serta tidak
perlu dihubungkan dengan agama.
Skelularisasi ini terus
berproses dan akhirnya mendorong munculnya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang
dikategorisasikan pada tahun 1957. Oleh para rektor universitas-universitas
Amerika Serikat sebagai ilmu-ilmu sastra, ilmu-ilmu sosial, dan ilmu-ilmu
alam”. Penggolongan ini yang kemudian menjadi populer tidak hanya di Amerika
serikat dan Eropa, tetapi juga di dunia Islam.
Bahkan, dalam perencanaan kurikulum, untuk universitas-universitan
Amerika Serikat, ilmu bernuansa agama tidak dimasukkan ke dalam pengajaran
wajib. Para siswa hanya diharapkan mempunyai pengetahuan dasar mengenai ketiga
cabang ilmu tersebut.
Pendidikan yang materialistik
memberikan kepada siswa sesuatu yang basis pemikiran yang serba terukur secara
material serta memungkiri hal-hal yang bersifat non material. Bahkan hasil
pendidikan haruslah dapat mengembalikan investasi yang telah ditanamkan oleh
orangtua siswa. Pengembalian itu dapat berupa gelar kesarjanaan, jabatan,
kekayaan, atau apapun yang setara dengan nilai materi. Agama ditempatkan pada
posisi yang sangat individual. Nilai transendental dirasa tidak patut atau
tidak perlu dijadikan sebagai standart penilaian proses pendidikan. Tempatnya
telah digantikan oleh etik yang pada faktanya bernilai materi juga.
Pengalaman secara mendalam atas
semua hal di atas, membawa kita pada satu kesimpulan yang sangat
menghawatirkan: bahwa semua itu telah menjauhkan manusia dari hakekat
kehidupannya sendiri. Manusia telah
dijauhkan dari hakekat visi dan misi penciptaannya. Fakta krisis kehidupan,
akar permasalahan yang sesungguhnya, berikut solusi ideal yang bersifat
fundamental secara skematis dapat dilihat dalam bagan-bagan berikut:
- Aktualisasi
Ajaran Tasawuf pada Dunia
Pendidikan Modern.
- Ajaran
tentang hakekat ilmu.
Hal yang sangat perlu diaktualisasikan dalam
ajaran tasawuf pada dunia pendidikan modern adalah filsafat ilmu. Bahwa
pandangan tasawuf terhadap ilmu jauh lebih mendalam dari pada pandangan kaum
skuler pada umumnya. Ilmu dalam
pandangan tasawuf adalah cahaya suci. Karena ilmu adalah sifat dari
Tuhan yang Maha Suci itu sendiri.
Pendidikan adalah suatu proses untuk
mendapatkan ilmu yang suci tersebut. Oleh karena itu, maka prasyarat bagi
seseorang orang yang ingin mendapatkan hakekat ilmu (ilmu apa saja), haruslah menjaga
kesucian aspek afeksi dari dirinya.Yakni aspek sebagai wadah rahasia (spirit)
ilmu.-ilmu dalam islam ada dua bagian,yaitu materi ilmu dan spirit ilmu-
Pencari ilmu harus membersihkan diri
dari dorongan–dorongan nafsu materialistis
dan hedonisme yang mengotori jiwa atau hati sebagai wadah dari ilmu sirr
(hakekat) ilmu.
Maka aktualisasi dan sosialisasi ajaran tasawuf
,seperti; zuhud, berdo’a, rajin ibadah
dan puasa adalah sangat
diperlukan dalam dunia pendidikan modern yang cenderung hedonistik dan
materialistik, yang jelas-jelas telah melahirkan banyak ilmuwan yang tidak
kontributif terhadap perbaikan peradaban umat islam, bahkan cenderung menjadi
sebab kehancuran peradaban sebagaimana yang sedang kita saksikan. Dalm hal ini
Nabi pernah menyatakan; “Barang siapa yang bertambah ilmunya, tetapi tidak
bertambah petunjuknya, maka ia tidak akan bertambah kecuali semakin jauh dari
Allah”.
- Ajaran
Psikologi dan Etika Pendidikan
Pandangan tasawuf yang tidak kalah pentingnya
untuk diaktualisasikan pada dunia pendidikan modern ini adalah masalah psikologis. Yaitu psikologi dalam
proses transmisi keilmuan, antara guru dan murid, sebagai suatu yang sangat
berpengaruh terhadap keberhasilan seseorang untuk dapat menguasasi ilmu
(kompeten). Kompeten dalam arti penguasaan yang meliputi aspek kognetif,
afektiv dan psikomotoriknya. Artinya dengan pengetahuannya, orang tersebut
dapat menghayati dengan baik dan dapat mengamalkan ilmu tersebut dalam
kehidupan sehari-hari.
Seorang murid harus menjaga kondisi psikologis
dirinya dan psikologis gurunya. Dia harus mempersepsikan gurunya dengan baik,
mencintai dan mengagungkan, serta senantiasa berprasangka baik dengan gurunya , dan menjaga persepsi guru terhadap
dirinya supaya baik. Karena menejemen persepsi komunikasi psikologis antara
guru dan murid adalah menejemen transmisi keilmuan dalam aspek afektiv. Dan
ilmu yang dapat masuk pada ranah afeksi inilah yang akan berdampak pada aktual
atau tidaknya ilmu dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan dasar pemikiran inilah maka, adab
(tatakrama /etika guru-murid) sangat penting untuk diaktualisasikan kembali
dalam dunia pendidikan modern. Seperti; hormat (merendahkan diri di
hadapan guru), ta’dhim (menjunjung tinggi martabat guru), dan khidmah
(melayani kepentingan guru) murid terhadap
guru. Demikian juga motifasi dan spirit transfer ilmu guru kepada murid, dengan
niat yang tulus dan do’a-do’a yang baik harus senantiasa mengalir kepada murid.
Dengan rasa sayang yang tulus terhadap murid, maka ilmu guru akan dapat
ditangkap dengan baik oleh afeksi murid.
- Menjaga
ranah Afeksi sebagaimana menjaga ranah kognesi.
Ranah afeksi sebagai bagian penting dalam sebuah sistem pendidikan, sangat perlu
digalakkan.Orang sering cenderung lupa, bahwa alat untuk dapat menguasai ilmu
adalah tiga alat. Yaitu; otak, hati dan anggota badan. Otak sebagai alat untuk
menampung dan mengolah data ilmu. Hati adalah alat untuk menampung dan mengolah
spirit ilmu, dan anggota badan alat untuk melatih dan mempraktekkan ilmu.
- Penutup.
Demikian,sekilas tentang aktualisasi ajaran
tasawuf di dunia pendidikan modern. Semoga bermanfa’at untuk membentuk
pribadi-pribadi muslim yang bertaqwa
kepada Allah, berakhlak mulia cerdas dan berketrampilan hidup yang selaras
dengan zamannya. Selamat berdiskusi untuk menyongsong kejayaan islam. Semoga
mendapat ridlo Allah swt.
Comments[ 0 ]
Posting Komentar